Selasa, 23 September 2008

Membuat Senyawa Ilmu Agama dan Sains

Ilmu pengetahuan berkembang seiring dengan keberadaan manusia. Dalam agama Islam, kita yakin bahwa ilmu agama (naqliyah) merupakan sumber dari ilmu pengetahuan lain karena kebenaran ilmu agama bersifat mutlak. Ilmu agama bersifat normatif tekstual dan teological klasik yang meyakini kebenaran sebagai kebenaran Tuhan dan tidak perlu diragukan lagi. Berbeda dengan Ilmu pengetahuan atau sains, merupakan ilmu yang berdasarkan fakta, logika, dan mendasarkan perkembangannya kepada apa yang dilihat, diukur dan dapat dibuktikan. Sains bersifat positivis, empiris dan rasional. Sains berpijak pada rasio manusia pada saat itu sehingga kebenarannya bersifat relatif. Baik ilmu agama maupun sains berkembang mempunyai tujuan sama yaitu meningkatkan harkat dan martabat manusia

Sains merupakan hasil karya manusia yang mencari kebenaran melalui penalaran dan pengamatan untuk mencari kebenaran. Jika ilmu agama berangkat dari keyakinan bahwa ilmu agama memang sudah benar dari awal dan tidak dapat diganggu gugat maka sains berangkat dari ketidakyakinan manusia terhapap suatu fenomena alam sehingga masih ingin dibuktikan kebenarannya. Perbedaan ini membuat ilmu agama dan sains berkembang menurut metodologinya masing-masing sampai mencapai suatu kesimpulan sendiri-sendiri.

Dalam ilmu kimia, senyawa didefinisikan sebagai gabungan dua atau lebih zat tunggal (atom) menjadi satu zat baru dengan karakteristik yang berbeda dengan zat-zat penyusunnya. Bagaimana mengintegrasikan ilmu agama dan sains, menjadikan keduanya sebagai senyawa -satu nyawa- baru? Apakah mungkin terbentuk satu keilmuan baru mengingat keduanya berangkat dari premis awal yang berbeda? Hal-hal seperti ini yang menggugah kaum muslim untuk terus berpikir mencari cara mengembangkan sains dan teknologi yang didampingi ilmu agama sebagai rujukan utama sehingga diperoleh paradigma baru tentang sains. Albert Einstein setelah menemukan reaksi inti dalam bom atom mengungkapkan : Agama tanpa bantuan ilmu pengetahuan akan lumpuh dan gagal mencapai tujuan mulia dan sebaliknya ilmu pengetahuan tanpa bantuan agama akan buta dan gagal mencapai tujuan sejati

Ilmu pengetahuan yang dikenal manusia dapat berasal dari wahyu Allah kepada Rasul-Nya dapat pula berasal dari alam, tempat tinggal manusia. Mukjizat merupakan kejadian di luar batas hukum dan sunnatullah yang dianugerahkan Allah kepada utusan-Nya. Mukjizat terbesar umat Islam, Al-Qur’an adalah sumber kebenaran yang mutlak dan menjadi pedoman bagi seluruh umat manusia di bumi ini, sehingga layak digunakan sebagai referensi dan sumber ilmu pengetahuan. Al Qur’an selain mampu menyelami masa silam juga mampu menjangkau masa depan, era globalisasi, era informasi dan komunikasi. Dalam buku Mukjizat llmiah dalam Al-Qur`an karya Muhammad Kamil Abdushamad dijelaskan bahwa separuh lebih ayat-ayat Al-Qur`an berbicara tentang alam. Al-Qur`an memberikan petunjuk tentang langit, benda langit dan peredarannya yang menjadi rujukan ilmu astronomi. Kesesuaian Al-Qur`an dengan sains modern merupakan modal untuk menggali lebih dalam isi Al-Qur`an. Dengan demikian Al-Qur`an merupakan kunci utama sains dan teknologi harus diyakini kebenarannya kemudian digali keilmuan yang dimaksudkan di dalamnya.

Menghasilkan senyawa ilmu agama dan sains bukan tidak mungkin terjadi jika kaum muslim bekerja sama mewujudkannya. Memahami dan menafsirkan ayat-ayat memerlukan pengetahuan yang kompleks dengan berbagai disliplin ilmu. Potensi-potensi kaum muslim yang mempunyai kelebihan di masing-masing bidang keilmuan agama dan ilmu lain seperti filsafat, sosiologi, sejarah, hukum, sastra, sains dan teknologi dan sebagainya harus disatukan untuk mewujudkan keilmuan islami.

Tidak ada komentar: